SEMANIS VANILLA

SEMANIS VANILLA

Sabtu, 29 Januari 2011

Di Lereng Merapi Ku Menangis


Mentari pagi mulai keluar dari sarangnya. Tak seperti biasanya, Sang surya yang  tampak tersenyum manja, pagi itu tampak muram. Entah karna Si Awan yang menutup-nutupi wajahnya, atau karna asap tebal Piramida Bertajin Merah yang akhir-akhir ini sedang rewel. Dengan sedikit malas, aku berjalan keluar halaman menuju tepi jalan. Kulihat di sana banyak orang berkerumun sambil mengobrol dengan muka serius. Tanpa aku mendengar sepertinya aku sudah tahu obrolan mereka. Bukan Cinta Fitri, bukan pula video mesum mirip Ariel, atau gossip-gosip sampah lainya. Yang mereka obrolkan adalah Gunung Merapi. Aku berjalan menuju selatan dusun Ganggong untuk menengok muka Merapi di pagi itu. Tampak sekali Merapi, yang jaraknya 15 km dari rumahku, sedang tak bersahabat. Mukanya muram, hitam kusam, mengeram, sambil terus mengepulkan asap. Guruh gemuruh dari Merapi menggema di bumi Sleman. Tapi kulihat di lingkungn sekitar, petani tetap pergi ke sawah, semuanya berjalan seperti biasa, walaupun rasa was-was menghantui mereka. Karena suasana Merapi makin tak menentu, Kamis pagi itu aku tidak berangkat sekolah.
            Semakin siang Merapi tak kunjung membaik, malah semakin rewel saja. Tangisannya semakin menjadi-jadi, bak bayi yang baru keluar dari rahim seorang ibu. Tangisannya menyelinuti bumi Sleman. Aku hanya tiduran sambil bermain handphone. Sms, facebook, semua yang kubuka selalu berbau Merapi. Tingkah elit politik, kasus gayus seakan sirna oleh asap-asap Merapi. Haripun makin sore, dan tetap saja kondisi Merapi semakin memburuk. Sekitar jam 15.00, listrik di dusunku mati. Guruh gemuruh di tengah kegelapan semakin membuat susana tambah mencekam.
            Menjelang malam, suasana mencekam semakin terasa. Guruh gemuruh Merapi semakin menjadi. Warga tak ada yang tidur, mereka berkumpul di halaman sambil bersiap-siap kalau terjadi sesuatu. Menjelang tengah malam, guruh gemuruh makin terasa. Bahkan terkadang kaca jendela, bergetar seakan berteriak ketakutan.
Seorang  warga berusaha menenangkan kami dengan mengatakan bahwa gemuruh yang terdengar bukan berasal dari Merapi melainkan suara batu-batuan akibat lahar dingin petang itu. Hal itu membuat warga kembali masuk ke rumah, meskipun terdengar sirine dari arah Kaliurang. Sekitar pukul 00.08 seorang warga mengatakan bahwa orang-orang diutara dusun kami sudah diungsikan. Sontak, semua warga bingung, berlari, mengambil barang yang bisa mereka bawa. Suara kentongan, diiringi teriakan histeris warga, mengiringi proses pengungsian malam itu. Hujan pasir, dan krikil menghujami kami, bak burung ababil yang membawa krikil panas. Ditambah lagi listrik padam, semuanya gelap. Semua warga menyerbu ke arah selatan seperti pasukan perang. Ada yang  berlari-lari, naik motor, ada juga yang menggunakan mobil. Hujan abu, pasir, dan kerikil makin menjadi. Suaranya klotak-klotak di atas genting. Aku langsung tancap gas dengan motorku. Sepanjang jalan ku lihat pohon-pohon salak tumbang. Baru kali ini seumur hidupku, Merapi benar-benar marah. Kami sekeluarga menuju daerah Mlati. Alhamdulilah kami selamat sampai di sana. Baju dan badan kami sudah tak berwujud. Kami seperti habis bermain lumpur. Kami tidak tahu dengan saudara-saudara kami, karna semua berhamburan tak tentu arah.
            Aku hanya bisa merunduk, menangis, dan berdoa, Ya Allah tabahkanlah hati kami, selamatkanlah keluarga dan saudara-saudara kami. Pagipun tiba, rasa trauma belum bisa hilang dari ingatanku. Sebagian besar pengungsi dibawa ke Stadion Maguwoharjo. Aku dengar bahwa, bantuan pemerintah belum lancar mengalir. Entah karena birokrasi yang panjang dan bercabang, aku tak tahu. Tapi, tanpa dikomanda warga Yogyakarta melakukan gerakan nasi bungkus. Inikah namanya paseduluran, benar-benar solidaritas yang luar biasa.
            Merapi memang marah, Merapi membawa petaka, tapi dibalik itu semua banyak hikmah yang bisa diambil. Solidaritas warga yang sedikit mulai goyah, kini semakin kuat. Warga menjadi lebih terdidik, bahwa klenik, mistik tak bisa menentukan kapan Merapi meletus melainkan teknologi dan ilmu pengetahuan. Ayo bangkitlah kawan, kita bangun Bumi Sleman.