Cerita ini untuk sahabat-sahabatku VINTA
Jabat tanganku
Mungkin untuk yang terakhir kali
Kita berbincang tentang memori dimasa itu
Peluk tubuhku usapakan juga air mataku
Kita terharu seakan tidak bertemu lagi
Bersenang-senanglah, karna hari ini yang akan kita rindukan
Dihari nanti sebuah kisah klasik untuk masa depan
Bersenang-senanglah, karna waktu ini yang kita banggakan dihari tua
Sampai jumpa kawanku
Semoga kita selalu menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan
Mungkin diriku masih ingin bersama kalian
Mungkin jiwaku masih haus sanjungan kalian ( sebuah kisah klasik SO7)
Aku segera mematikan radio dan bersiap-siap berangkat sekolah. Dari rumah hingga sekolah pikiranku tak lepas dari hafalan geografi karna hari ini ada ujian. Sesampai di gerbang sekolah, Icha, Nurul, Tami dan Ailsa menyambutku dengan ceria, mungkin mereka ditakdirkan bertemu denganku secara namaku VINTA seperti gabungan huruf pertama aku dan mereka. Saat ujian tiba aku duduk di bangku nomor dua sedangkan Tami dibelakangku. Di tengah perjalanan tanpa diberi perintah tangan jahilku dengan lincah membuka kertas dua lembar berukuran 8 x 10 cm yang tak lain adalah contekan. Belum sampai aku menemukan jawaban dari kertas itu tiba-tiba tangan halus nan suci menarik kertas itu. Seluruh siswa di kelas melirikku, Bu Windar selaku guru sosiologi berbicara keras”Jika cuma nyontek, pedagang kaki lima juga bisa tanpa sekolah!” satu kalimat itu membuat wajahku merah dan seluruh teman-temanku menertawaiku. Usai ujian berakhir aku menyesal dan menghabiskan delapan kotak tisu tapi teman-temanku ada disini untuk menghiburku meski ini secara murni adalah kesalahanku sendiri.
Malam harinya aku ingin menceritakan kejadian itu pada ibuku namun aku bingung bagaimana kata untuk mengawali cerita ini. Badan meteorology dan Geofisika angkat tangan mengibarkan bendera putih. Pencatat gempa vulkanik di lereng gunung merapi malah buru-buru ambil cuti,takut ditanyai pendapatku tentang ini. Akhirnya aku biarkan malam itu berlalu.
“Vin.. tunggu aku!” teriak Nurul
Pagi itu kelasku sedang pelajaran olahraga, aku sangat suka dengan olahraga lari dan kebetulan olahraga pagi itu adalah lari, aku tau Nurul membenci olahraga yang satu ini.
“Ok.. anak-anak sekarang olahraga kalian lari, dari sini kemudian ke timur” perintah Pak Aan guru olahraga
Aku dan teman-temanku yang lain sengaja tidak mendengarkan apa yang dijelaskan Pak Aan, sampai dtengah perjalanan kami melihat buah mangga yang sedang matang-matangnya. Mata kami melirik kearah buah yang masih bergelantungan dipohonnya. Tanpa ragu Ailsa memanjat pohon itu. Sedangkan Icha dan Tami dibawahnya menunjuk-nunjuk buah yang ingin disantapnya. Belum sampai ailsa menyentuh buah mangga yang diincarnya, sebuah teriakan mengagetkan kami. Ternyata dari pemilik pohon itu. Seketika kami mengambil langkah seribu dan mengalahkan teman-teman yang lain yang sedang berlari.
“Vinta? Ternyata larimu cepat ya? Tingkatkan terus!” puji Pak Aan setelah sampai digerbang sekolah
Aku hanya diam menahan tawa yang menggelikan bersama teman-temanku yang lain.
“Icha.. ayo ke masjid sambil cuci mata” ajakku
“iya.. ayo! Aku yakin Dede dan Risma sudah disana!” kata Icha
Segera saja aku menuju masjid dan menempati ruangan yang terbuka untuk melihat dede dan risma seseorang yang mempunyai senyuman indah dan Icha sahabatku sudah lama nge-Fans sama orang yang satu ini.
“Vinta, Icha ayo ke atas!” ajak Nurul sesaat melihatku didalam masjid untuk berjamaah sholat
Akhirnya aku mengikuti ajakan Nurul, kami berjalan ke ruang atas, yaitu kelas VII A. sesampai diatas, Nurul merentangkan tangannya dan menutup matanya. Kami diam-diam pergi tanpa beri tau Nurul. Kamipun sembunyi dibawah tangga. Suara latah Tami terdengar setelah Nurul menjerit tahu-tahu ditinggal sendiri. Kemudian kami berjalan sampai depan kelas IX C, Aku sengaja memahat nama kami VINTA dalam sebuah pohon. Aku berharap persahabatan ini akan langgeng sampai maut memisahkan kami.
Pagi itu kicau burung-burung sudah menyambut pagiku dengan harapan yang cerah, sesampai digerbang sekolah aku dapati Tami mendekap tubuh Nurul yang sedang menggigil sambil mengeluarkan busa. Yang jelas aku bingung harus bagaimana. Aku hanya membantu mendekap tubuh Nurul agar dia tidak terjatuh sampai ke tanah. Beberapa hari setelah kejadian itu, Nurul jarang berangkat sekolah lagi sampai dua bulan kemudian aku menjenguk dirumahnya, aku tidak tahu dia sakit apa, bersama Tami dan Icha aku menangis melihat tubuh Nurul yang semakin kurus dan selang-selang infus menancap ditubuhnya. Saat itu aku bertekad untuk menjadi dokter, agar bisa menyelelamatkan Nurul.
Kini tiga kembang api telah berlalu, aku dapati diriku masih duduk dengan bullpen dan buku yang masih melekat ditanganku, mendengarkan dan menulis apa yang dijelaskan tidak tahu menahu untuk apa aku seperti ini. Menjadi dokter? Tidak mungkin lagi sebab aku memilih jurusan IPS. Sedangkan VINTA sendiri sudah pecah, Icha meneruskan SMK dan sebentar lagi mau ke Luar Negri, sedangkan Tami dia mulai sibuk dengan urusan pribadinya. Ailsa dan Nurul juga melanjutkan ke jenjang SMK, meski begitu aku sudah tidak pernah menghubunginya lagi karna mereka ganti-ganti kontak.
Senja disebelah barat menuntunku ke masa itu. Aku melangkahkan kakiku berkunjung ke rumah Icha, aku terkejut mendapat kabar jika Ailsa kena “insiden” yang memaksa dia untuk berhenti sekolah. Aku berlari mencari Nurul untuk menanyakan tentang ini, tapi aku mendapati dirinya sedang menangis dia bercerita bahwa semalam Tami tertangkap Satpol PP gara-gara dia bermain sampai larut malam. Belum jadi aku berbicara, Nurul berkata “Vin..minggu depan aku sudah tunangan,mungkin aku tidak bisa kumpul-kumpul seperti dulu lagi!”
Aku masih diam stabil seperti pemain sirkus yang piawai berdiri setinggi empat meter lima puluh tiga senti, Sambil rambutku sesekali tertiup angin. Aku baru sadar tentang waktu, kisah, yang kita sendiri tak pernah tahu kapan dan bagaimana itu terjadi. Tapi itu semua tergantung bagaimana kita menjalani nantinya.
“meski begitu kalian tetap dihatiku selamanya”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar